Meningkatkan Pemahaman Millenial Voters, Magister Ilmu Pemerintahan adakan Kuliah Umum

March 9, 2019, oleh: superadmin


 
Jum’at, 7 Maret 2019. Demokrasi Elektoral kita menjadi ranah kontestas1 atau pertarungan yan g sangat terbuka dan kompetitif, keras, dan multi-isu. Demokrasi Siber (Cyberdemocracy ) lnteraksi komunikasi politik menjadi terbuka dan intensif. Kemunculan “Third age of pollitical communication” dimana media cetak dan penyiaran akan kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru melimpahnya informasi. Ide, informasi, dan berita politik dapat disebarkan melalui Internet dan Teknologi komunikasi dengan kapasitas untuk mencapai arus informasi dua arah yang memungkinkan penguna untuk mencari jenis berita tertentu.
Magister Ilmu Pemerintahan UMY menyelenggarakan kuliah umum dengan tema “Media Sosial dan Millenial Voters”. Acara ini dimoderatori oleh David Efendi, S.IP MA, serta sebagai pembicara Wawan Budiyanto, S.Ag., M.Si selaku Komisioner KPU DIY dan Tunjung Sulaksono, S.IP., MA. Acara diawali dengan pemaparan hasil penelitian MIP bekerjasama dengan KISP tentang “PERlLAKU MILLENIAL VOTERS DI MEDIA SOSIAL DALAM MERESPON PEMILIHAN UMUM SERENTAK 2019”. Data diperoleh melalui hasil penyebaran kuisioner dan wawancara Generasi Millenial di DIY dengan spesifikasi umur 17-36 tahun. Responden memilih Generasi Millenial yang asli berpenduduk di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang menyebari di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulon Progo.
Beberapa hasil Temuan Perilaku Millenial Voters di Media Sosial Dalam Merespon Pemilihan Umum Serentak 2019 sebagai berikut :

  1. Dari temuan di lapangan Aplikasi lnstagram merupakan aplikasi yang banyak digunakan oleh Generasi Millenial di DIY (86,75%), setelah itu Whatshaap (65,5%), disusul oleh Facebook (63,75%), Twitter (45,75%), Line (3 8,5%).
  2. Generasi milenial di DIY relatif netral dalam pandangan politiknya, tidak begitu tertarik dengan keributan capres atau cawapres (nomor urut 01 atau nomor urut 02) salah satunya dilihat dari penggunaan hashtag dalam postingannya.
  3. 47% generasi millenial/millenial voters masih belum tahu akan mengikuti atau tidak mengikuti Pemilihan Umum serentak 2019, salah satu alasannya mereka lebih sering menemui informasi hoaks atau ujaran kebencian di Media Sosial, dibandingkan informas1 yang mendidik pemahanan politik menjadi alasan masih banyaknya undecided voters.
  4. Generasi millenial lebih memfungsikan media sosial sebagai sumber informasi, membagikan konten meme hingga mengkritik pemerintah.

Berdasarkan temuan ini, berharap berbagai pihak seperti penyelenggara pemilu dan partai politik dapat menindaklanjuti data-data analisis tentang Perilaku Millenial Voters dalam merespon pemilihan umum 2019. Hal ini penting sebagai pendidikan politik bagi Generasi Millenial.
Wawan Budiyanto, S.Ag., M.Si selaku pembicara dalam kuliah umum ini mengungkapkan bahwa saat ini cara-cara memperkenalkan diri dan programnya masih konvesional, yakni melalui berbagai baliho yang mahal dan terkadang melanggar aturan. Mereka belum bisa memanfaatkan media sosial yang lebih murah dan efektif. Melihat angka yang dipaparkan hasil penelitian MIP , Wawan sependapat harus ada gerakan yang melibatkan generasi milenial agar menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Namun, yang menarik bagi Wawan, meski generasi milenial DIY dinilai apatis, sebagian malah tergabung sebagai simpatisan dan dikapitalisasi partai politik untuk mensosialisasikan pemilu dengan cara turun ke jalan. “Secara khusus KPU DIY mengundang generasi milenial turut mensosialisaskan pemilu dengan mendengungkan kembali kampanye ‘anti-politisi busuk’ atau ‘anti-caleg koruptor’,” katanya.
Adapun Tunjung Sulakosono, S.IP., M.Si selaku Dosen Magister Ilmu Pemerintahan UMY dan pembicara pada kuliah umum ini melihat para kandidat di pemilu 2019 bukan hanya harus berkampanye di media sosial secara kreatif untuk meraih simpati generasi milenial. Namun mereka juga harus menyelami dunia anak muda dengan meniru penampilan. “Tantangannya adalah bahwa sampai sekarang partai masih dikuasai generasi oligarki yang menuntut kepatuhan di tingkat bawah, sehingga susah diajak menggarap generasi milenial,” katanya.